
Dayah Samudera Pasai Madani Ikut Meusyura dalam FGD Kurikulum Dayah Aceh
Banda Aceh – Dinas Pendidikan Dayah Aceh menyelenggarakan Sosialisasi Kurikulum Dayah dan Focus Group Discussion (FGD) pada 16–18 September 2025 di Hotel Hanifi, Banda Aceh. Kegiatan ini mempertemukan pimpinan dayah, ulama, akademisi, serta pemangku kebijakan untuk bersama-sama merumuskan arah kurikulum dayah Aceh. Forum ini dinilai penting karena menjadi wadah sinergi antara tradisi keilmuan turats dengan tuntutan pendidikan modern, sehingga kurikulum dayah semakin sistematis namun tetap berakar pada kekhasan masing-masing lembaga.
Dayah Samudera Pasai Madani turut hadir dalam forum bergengsi ini melalui kehadiran Pimpinan, Tgk. Muhammad Fadhillah. Dalam kesempatan tersebut, beliau memberikan kesan positif atas pelaksanaan acara. Menurutnya, forum ini merupakan langkah yang sangat bagus dan bermanfaat karena memberikan ruang bagi seluruh pimpinan dayah untuk ikut menyumbangkan gagasan dalam penyusunan kurikulum. Dengan keterlibatan langsung seperti ini, dayah tidak hanya menjadi objek kebijakan, tetapi turut menjadi subjek penting dalam menentukan arah pendidikannya sendiri.
Diskusi yang berlangsung selama tiga hari itu menghadirkan sejumlah narasumber dari berbagai latar belakang. Kepala Dinas Pendidikan Dayah Aceh, Dr. Munawar, M.A., menyampaikan kebijakan pemerintah dalam memperkuat eksistensi dayah sebagai lembaga pendidikan Islam yang telah berperan penting dalam sejarah Aceh. Guru Besar UIN Ar-Raniry, Prof. Dr. H. Warul Walidin AK, M.A., menyoroti urgensi keseimbangan antara mempertahankan turats dengan menjawab tantangan zaman, sehingga kurikulum dayah tetap relevan dan adaptif. Sementara itu, akademisi sekaligus praktisi pendidikan dayah, Dr. Tgk. H. Anwar Usman, M.Pd. bersama Dr. M. Rizwan Haji Ali, S.Ag., M.A., memaparkan aspek teknis tentang struktur kurikulum, penyusunan materi, dan metodologi pembelajaran.
Dalam jalannya diskusi, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk. H. Faisal Ali, menekankan bahwa penyusunan kurikulum ini bukan dimaksudkan untuk menyeragamkan seluruh dayah. Ia menegaskan bahwa setiap dayah memiliki corak, metode, dan tradisi tersendiri yang perlu dihargai. “Setiap dayah memiliki ciri khas dan metode pengajarannya sendiri. FGD ini diadakan untuk memberikan rekognisi atau pengakuan terhadap kitab-kitab mu‘tabarah yang telah lama menjadi rujukan utama di Aceh, khususnya fiqh mazhab Syafi‘i serta aqidah Ahlussunnah wal Jama‘ah dengan manhaj al-Asy‘ariyyah dan al-Maturidiyyah,” ujarnya.
Setelah mendengarkan paparan dari para pemateri, seluruh peserta forum melanjutkan pembahasan dalam diskusi kelompok. Dari sinilah lahir berbagai rekomendasi dan rancangan awal kurikulum dayah yang diharapkan menjadi pijakan penting dalam merumuskan regulasi pendidikan dayah di Aceh. Diskusi berlangsung hangat dan penuh semangat meusyura, mencerminkan budaya musyawarah yang sejak lama menjadi ruh pendidikan dan kehidupan sosial masyarakat Aceh.
Forum ini pada akhirnya tidak hanya menghasilkan rancangan awal kurikulum, tetapi juga memperkuat ukhuwah ilmiah di kalangan pimpinan dayah, ulama, dan akademisi. Dengan adanya pertemuan ini, diharapkan lahir kesepahaman yang kokoh dalam menjaga otentisitas kitab-kitab turats sambil tetap membuka ruang bagi pembaharuan metodologi. Harapan besar dari kegiatan ini adalah agar dayah tetap menjadi benteng aqidah dan syariat, sekaligus pusat lahirnya generasi santri yang faqih fid-din, berakhlak mulia, memiliki pandangan wasathiyah, dan mampu memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat Aceh serta dunia Islam pada umumnya.