
Menyentuh Makna Tauhid, Tawadhu, dan Etika Menampilkan Diri | Pengajian Bersama Tgk. H. Mursalin Basyah di DSPM
Aceh Besar, 30 Juli 2025 — Malam itu, suasana pengajian di lingkungan Dayah Samudera Pasai Madani (DSPM) terasa berbeda. Penuh ketenangan, namun juga menghidupkan semangat berpikir dan merenung. Pengajian ini diisi oleh salah satu dai ternama Aceh, Tgk. H. Mursalin Basyah, Lc., M.Ag, yang sudah tidak asing lagi di kalangan para penuntut ilmu dan masyarakat umum.
Kajian malam ini mengambil bahan dari Kitab Nurud Dhalam, syarah (penjelasan) atas nazam Aqidatul Awam, karya ulama besar dari Nusantara, Syaikh Nawawi al-Bantani.
Kisah di Balik Kitab: Mimpi dan Ilham yang Benar
Salah satu hal menarik yang beliau sampaikan adalah kisah mimpi yang menjadi awal mula penyusunan kitab ini. Menurut penjelasan beliau, pengarang nazam Aqidatul Awam mendapat mimpi bertemu langsung dengan Nabi Muhammad ﷺ, yang kemudian memerintahkannya menyusun bait-bait aqidah yang kini dipelajari di banyak pesantren.
Mimpi semacam ini disebut ru’ya shadiqah—mimpi yang benar dan membawa pesan kebaikan. Dalam Islam, mimpi seperti ini diyakini bisa menjadi ilham bagi orang-orang saleh, bukan sekadar bunga tidur. Ini pula yang menjadikan kitab ini begitu istimewa dan penuh barakah.
Tentang Tawadhu: Bukan Sekadar Tampilan
Tgk. Mursalin juga mengangkat bahasan penting tentang tawadhu atau kerendahan hati. Banyak orang mengira tawadhu itu cukup dengan penampilan sederhana, atau cara berjalan yang pelan. Padahal, menurut beliau, tawadhu sejati adalah sikap hati—tidak merasa lebih baik dari orang lain, walau secara ilmu atau jabatan mungkin lebih tinggi.
Beliau mengutip perkataan seorang ulama sufi besar, Syaikh Ibn Atha’illah as-Sakandari, bahwa:
“Siapa yang merendahkan hati kepada yang dianggap lebih rendah darinya, justru akan diangkat derajatnya oleh Allah.”
Branding Diri: Penting, Tapi Jangan Asal
Salah satu bagian menarik dalam kajian adalah saat beliau membahas soal branding diri, terutama bagi para dai atau pengajar. Menurut beliau, menampilkan citra diri itu penting dalam dakwah hari ini, tapi harus sesuai dengan ilmu dan akhlak. Jangan sampai simbol-simbol keulamaan seperti jubah, sorban, atau gelar, digunakan tanpa tanggung jawab. Bisa jadi, justru membuat orang salah menilai dan salah dalam menuntut ilmu.
Pesannya jelas: yang ditampakkan ke publik harus sejalan dengan isi dalam diri.
Tentang Perempuan Menampilkan Diri di Masyarakat
Ada satu pertanyaan menarik dari salah satu ustazah malam itu: Bagaimana batasan perempuan untuk tampil di hadapan publik? Jawaban Tgk. Mursalin disampaikan dengan lembut namun dalam maknanya. Beliau menjelaskan bahwa Islam tidak melarang perempuan tampil, asalkan tetap menjaga adab dan nilai.
Beliau menyebut beberapa tokoh perempuan agung dalam Islam, seperti Saidah Khadijah ra., seorang pengusaha dan pemimpin yang kuat, serta Saidah Aisyah ra., cendekiawan wanita yang menjadi rujukan hukum dan tafsir. Bahkan di Aceh sendiri, selama hampir 60 tahun pernah dipimpin oleh para ratu, yang dikenal bijaksana dan sangat dihormati rakyat.
Tgk. Mursalin juga menyebut nama Ibu Illiza Sa’aduddin Djamal, Wali Kota Banda Aceh, sebagai contoh wanita masa kini yang tampil di ruang publik dengan tetap menjaga nilai keislaman dan etika.
“Perempuan bisa memilih siapa teladannya: Khadijah, Aisyah, atau pemimpin perempuan Aceh. Islam tidak membatasi tampil, tapi memberi arahan agar tampil itu bernilai,” jelas beliau.
Penutup: Ilmu dan Akhlak Harus Berjalan Seiring
Pengajian malam itu bukan hanya menambah wawasan, tetapi juga menyentuh hati. Bagi banyak peserta, ini bukan sekadar kajian kitab, tapi juga pengingat untuk terus memperbaiki niat, membangun akhlak, dan menyeimbangkan antara ilmu dan amal.
Di akhir majelis, beberapa peserta menyampaikan kesan mendalam. Kajian ini tidak hanya menyegarkan akal, tapi juga menenangkan hati.
Catatan penulis: Kitab-kitab seperti Nurud Dhalam adalah warisan ulama besar yang menuntun umat memahami dasar-dasar tauhid dengan bahasa yang halus dan penuh cinta. Di zaman ini, membacanya kembali adalah bentuk kesyukuran dan bentuk menjaga warisan ilmu yang bersambung dari Rasulullah ﷺ melalui para pewarisnya.